
2. Perlengkapan Teknik
2.1. Untuk pencatatan waktu diperlukan sedikitnya 2 buah stopwatch, satu untuk pencatat waktu dan satu lagi untuk time out.
2.2. Alat untuk mengukur waktu 30 detik
2.3. Kertas score (Scoring Book) untuk mencatat/merekam pertandingan.
2.4. Isyarat - scoring board, tanda kesalahan perorangan yakni angka 1 sampai dengan 5, serta bendera merah dua buah untuk kesalahan regu.
3. Lapangan

Berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 26 m dan lebar 14 m yang diukur dari pinggir garis batas. Variasi ukuran diperolehkan dengna menambah atau mengurangi ukuran panjang 2 m serta menambah atau mengurangi ukuran lebar 1 m. Di lapangan ini terdapat beberapa ukuran seperti : lingakaran tengah, dan lain sebagainya yang secara jelas dan terperinci akan diuraikan dalam gambar di bawah nanti.
3.2. Papan Pantul

(Perincian selengkapnya, lihat gambar).

3.3. Keranjang

(Perincian selengkapnya, lihat gambar)

Minggu, 14 Maret 2010
SALAH SATU CLUB BASKETBALL BERCAMPUR STREETBALL DI BANDUNG

DOUBLE G
"Komunitas basket yang didirikan oleh para pecinta basket di Gegerkalong,yang diberi nama dengan Double-G (2G, baca: Dabe'l Ji). Kenapa Double G?, (arti perkata) “Double” itu Dua “G” itu inisial dari nama tempat kami sering berkumpul, yaitu Gegerkalong Girang. Jadi artinya (kita) Baller's dari Gegerkalong Girang.
Pada awalnya komunitas ini adalah komunitas streetball tetapi dengan kemajuannya, Double-G (2G) semakin berkembang, dan sekarang Double-G tidak hanya bergenre streetball saja, tetapi permainan basket reguler-pun ada disini, sekarang-pun jumlah anggota Double-G semakin banyak dan terus bertambah semakin harinya. Disini setiap orang mau berusaha keras, ingin mencari lawan yg lebih baik, dan mengevaluasi kesalahan-kesalahannya, demi terciptanya suatu tim yang solid dan kompak di dalam maupun di luar lapangan, juga diselingi humor-humor dan guyonan lucu dan terkadang garink tapi tetap loecoe, serta menggelikan hati.
Kami juga telah sering mengikuti event-event tahunan dari tahun 2006, seperti LA Light Streetball, bahkan LA Light Streetball ’08 kemarin kita “ngirim” 4 tim! Bisa dibayangkan bagaimana. Truz untuk LA Light Streetball '09, kita mengirimkan 2 tim, yaitu "Double-G" and "Double-G OldSkull", yg mengejutkan 2 tim ini masuk 8 besar pada hari pertama LA Light Streetball '09 di Bandung!

Sampai hari ini kami (2G) masih latihan bersama, tiap hari Minggu pagi jam 8-10 di SABUGA Lap 'A' ITB, untuk latihan khusus streetball diadakan hari Kamis jam 7pm-9pm di SABUGA bersama Double G Streetball. Kita juga punya orang “behind da scene”-nya alias Pelatih, mungkin bisa disamakan dengan Instruktur kalo di senam, pelatih kita ini sudah terkenal se-antero perbasketan di kota Bandung atau juga sudah terkenal di kalangan Baller's di BDG, apalagi di sekolahan, pasti taulah.

"Kita terbuka untuk umum, siap jaga 24 jam nonstop,bagi yang berminat untuk bergabung datang ajach, jangan takut, kita orangnya ramah-ramah kok!, yaaaa.. hanya sebagian orang ajach yg (terbukti) gila, ditunggu yach! DIJAMIN BAKAL SERI ehh SERU!. Heee.. Kalo hari2 biasa kita biasa maen di KPAD, pada sore hari."
SALAH SATU PEMBAWA STREETBALL DI BANDUNG

Richard ‘Insane’ Latunusa
Menyebarkan Streetball
Sekali waktu diadakan ujian tulis pelajaran olahraga di sebuah sekolah dasar (SD) di Bandung. Salah satu soal meminta siswa menuliskan nama pemain terkenal sesuai cabang olahraganya. Untuk cabang bulu tangkis, misalnya, para siswa tangkas menulis nama Taufik Hidayat. Di cabang basket, 14 siswa menulis nama Richard.
Guru yang memeriksa jawaban para siswa itu tersentak. Ia tak mengenal nama Richard di dunia basket. Tapi, mengapa ada 14 siswa yang menjawab sama? Tak ingin didera tanya, ia memanggil pemilik nama itu ke sekolah. ”Anda siapa?” tanya guru itu, kepadanya.
”Saya bukan siapa-siapa.”
”Mengapa banyak siswa saya menuliskan nama Anda?”
”Saya juga bingung.”
Setelah Richard menjelaskan aktivitas dan prestasinya, sang guru mahfum. Jawaban 14 siswa yang semula disalahkan, kemudian dibetulkan.
”Ternyata kamu figur pemain basket,” ucap guru itu.
Siswa yang menuliskan nama Richard dalam lembar jawaban, ternyata anak asuh Richard di Sekolah Streetball Bandung.
Richard ‘Insane’ Latunusa yang mengisahkan peristiwa itu, kini menjadi ikon streetball, bukan hanya di Bandung, tapi juga di Indonesia. Ia menjadi pemain terbaik liga LA Light Streeball, 2005.
Future Streetball Camp, sekolah streetball yang ia dirikan di Bandung, dibanjiri peminat. Tercatat 178 siswa yang belajar di sekolah itu, berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Subang dan Purwakarta. Demam streetball lantas menjalar ke mana-mana. Komunitas streetball yang semula hanya ada di Bandung, kini terbentuk di hampir semua kota di Indonesia.
Semua itu bermula dari kegemaran Insane, panggilan akrabnya, bermain basket sejak SD di Jakarta. Sekali tempo, tahun 2000, ia menyaksikan pertandingan antarklub basket di Jakarta. Di sela pertandingan, dipertontonkan permainan basket yang penuh aktraktif dari VCD. ”Wah, ini basket lain,” kata dia membatin.
Insane mendekat. ”Dari mana dapat VCD ini?” tanyanya. Jawaban yang diperoleh, ”Itu merupakan bonus bila membeli sebuah merk sepatu di Amerika.” Tak ingin kehilangan kesempatan, ia lalu memesan kepada seorang pamannya. Sang paman bekerja di kapal yang kerap berlayar ke Negeri Paman Sam itu.
Keinginannya tercapai. Saat memperoleh kiriman VCD, Insane mulai mempraktikkan gaya permainan yang ditontonnya. ”Ternyata bisa,” ucap pria kelahiran Jakarta, 23 Juni 1979, yang tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB) angkatan 1999, ini.
Mulus memainkan banyak gaya permainan bola basket dengan atraktif, ternyata tidak semulus sambutan teman sepermainannya. Tak hanya diledek, tidak jarang ia menerima lemparan saat bermain streetball. ”Kalau saya main, ada yang menabuh gendang, layaknya permainan topeng monyet. Bahkan, di Majalengka saya sempat ditimpuk genteng,” kata dia mengenang.
Tak gentar oleh cercaan, ia terus mempelajari dan mengembangkan permainan streetball. Perlahan-lahan mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya. Semula dari enam orang, teman mainnya kemudian bertambah menjadi 12 orang. Bermain tiap Rabu malam dari pukul 21.00 – 24.00 di lapangan basket GOR Saparua, Bandung, penonton membludak. Permainan ini kemudian mulai digemari, tak hanya remaja, tapi juga anak-anak. Sampai sekali waktu, di tahun 2004, seseorang menghampiri Insane, sembari berseru, ”Mengapa tidak membuat sekolah saja?”
Insane tak kuasa menolak. Ia tak bisa menghindar dari banyaknya anak-anak yang ingin belajar streetball. Jadilah Future Streetball Camp, sekolah streetball. Tak kurang dari empat bulan, siswanya mencapai 50 orang. Inilah sekolah tanpa kampus. Tempat belajarnya di lapangan basket Sabuga, Bandung.
Tak mampu sendirian melatih 178 anak didik dari siswa SD sampai mahasiswa, Insane meminta bantuan dua orang pelatih. Ia lebih banyak menyusun kurikulum, mengatur materi latihan yang disesuaikan dengan pengelompokan junior-senior. ”Kita juga membuat semacam rapor, supaya orang tua tahu perkembangan anaknya,” jelas Insane.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar